Pada awal tahun 1870, tebersit ide dari insinyur Geologi Belanda bernama W.G. de Greve untuk mengembangkan jalur kereta api yang membawa batu bara Sawahlunto, sebelumnya via EmmaHaven ( pelabuhan Teluk Bayur ) dialihkan ke Sumatra Tengah menuju Sungai Siak lalu Singapura. Sejak dibuka oleh Raffles tahun 1819, Singapura sudah menjadi etalase dan magnet perdagangan di Asia Tenggara selain Penang dan Malacca. Dalam pikiran W.G. de Greve, Pakan Baroe haven ( pelabuhan Pekanbaru ) adalah tempat transit ideal dari batu bara Sawahlunto sebelum dibawa ke Singapura.
Dia memilih Pekanbaru karena jarak Pekanbaru ke Singapura yang dekat, perdagangan Pekanbaru dan Singapura sudah terjadi sejak dibukanya Singapura oleh Raffles, dan alur pelayaran sungai Siak yang dalam. Data perdagangan batu bara di Singapura tahun 1873, terjadi transaksi perdagangan sejumlah 153.332 ton dan di tahun 1888, perdagangan batu bara di Singapura sejumlah 365.700 ton. Jika jalur kereta api di pantai timur dan pantai barat tersambung, batu bara dari Sawahlunto bisa mendapat tempat.
Ide De Greve diadopsi penggantinya, insinyur W.H.Ijzermann di tahun 1891. Ijzermann melakukan ekspedisi Sungai Kuantan yang dimulai dari Muaro ( sekarang menjadi ibukota kecamatan Silungkang kota Sawahlunto ) hingga ke Siak. Ekspedisi ini dibukukan dalam buku Dwars Doors Sumatra, Toocht van Padang nar Siak di tahun 1891. Laporan Ijzermann mengenai ide pembuatan jalan kereta api di Sumatra Tengah ditulis dalam laporan teknis “ On the construction of a railway from Ombilin Coalfields to the Siak river “ laporan ini terbit pada bulan September 1891. Yang ditulis dalam laporan itu diantaranya adalah;
- Dat de Siak Rivier van Pekan Baroe tot haar monding in
de Brouwerstraat voor vrij diepgaande schepen (15 voet) bevaarbaar is;
2.Dat de Oembilin-Kwantan het scheidingsgebergte tusschen
de Bovenlanden en de vlakke streken der Oostkust doorbreekt,
zoodat men door die rivier te volgen in voortdurend dalende
richting een spoorweg kan aanleggen.
- Sungai Siak, dari Pekanbaru hingga ke muaranya di Brouwerstraat ( Selat Panjang ) dapat dilalui oleh kapal karena alur perairan yang dalam
- Antara Ombilin dan Kuantan dipisahkan oleh perbukitan ( pegunungan Bukit Barisan ) kemudian menjadi rata di bagian hulu. Jika mengikuti alur sungai. Railway bisa dibangun.
( Dwars doors Sumatra, Toocht van Padang nar Siak ).
Karena survei Ijzermann tidak ada kelanjutan. Pada tanggal 14 Juni 1907, insinyur Belanda K.J.A. Lightvoet dan E.J.C Van Zuijlen dari Staatsspoor-en-Tramwegen in Nederlandsch–Indië ( perusahaan kereta api dan trem Hindia Belanda ) yang berkantor pusat di Bandung melakukan survei pembangunan jalur kereta api di Sumatera Tengah. Laporan ini ditulis dalam sebuah laporan berjudul “Rapport Der Spoorweg Verkenning in Midden Sumatra“. Dalam laporan ini ditulis kan bahwa “prioriteit voor de indertijd door den Hoofdingenieur Ijzermaan voorgestelde lijn van Sawali Loento naar de Siak-rivier, — en de prioriteit voor eenen tramweg van Tratah Boeloeh naar Pakan Baroe, uitgegeven aan den Heer VAN RIJN VAN ALKEMADE”. Memprioritaskan jalur kereta api dari Sawahlunto menuju Sungai Siak yang diusulkan oleh Kepala Insinyur Ijzermann dan pembangunan jalur trem dari Teratak Buluh ke Pekanbaru. Jalur kereta api yang dipersiapkan oleh Staatsspoorwegen dari Muaro Kalaban – Taluk Kuantan – Pekanbaru adalah sepanjang 298 km. Sayangnya, laporan ini tidak dilanjutkan menjadi pembangunan rel oleh Pemerintah Belanda saat itu. Estimasi biaya pembangunan jalur kereta api Pekanbaru – Muaro Kalaban dari survei 1907 adalah 27.100.000 Gulden.
Di tahun 1920, survei jalur kereta api kembali dilakukan, kali ini oleh Pemerintah Hindia Belanda. Survei ini dilakukan oleh W.J.M Nievel, insinyur pemerintah Hindia Belanda. Survei yang dilakukan oleh Nievel dipublikasi pada tahun 1927. Nievel memilih Tembilahan sebagai pelabuhan pengumpul batu bara bukan Pekanbaru. Tembilahan adalah ibukota kabupaten Indragiri Hilir yang berada di sisi selatan Provinsi Riau dan muara dari sungai Indragiri. Jalur kereta api rencana Nievel adalah Sawahlunto – Muara Lembu – Air Molek – dan Tembilahan. Estimasi biaya jalur ini adalah 54.500.000 gulden dan estimasi biaya jalur kereta api Sawahlunto – Taloek Kuantan – Pakanbaroe di tahun 1928 sebesar 48.500.000 Gulden. Jika dibandingkan dengan biaya perawatan jalan Pakanbaroe – Taloek Kuantan di tahun 1928 sebesar 2.000 gulden per km, jalur kereta api ini mahal dan tidak efektif karena hanya untuk membawa batu bara saja ( surat kabar Sumatra Boode, tahun 1928 ). Mahalnya investasi, penyakit malaria, tantangan landscape pegunungan Bukit Barisan, dibutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak, great depression/ krisis ekonomi dunia, serta mulai bersaingnya kereta api dan mobil di Hindia Belanda adalah beberapa alasan kenapa jalur kereta api Sumatra Tengah tidak dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Hasil studi jalur kereta api ini menjadi arsip , di saatJepang menjajah Indonesia, mereka mengambil data ini. Jepang menjungkirbalikkan narasi bahwa pembangunan jalur ini mahal. Dimulai dari tahun 1943 hingga 15 Agustus 1945. Jepang membuat jalur kereta api Pakanbaroe – Muaro sepanjang 220 km. Jepang mengambil hasil survei tahun 1907 yang dilakukan oleh K.J.A. Lightvoet dan E.J.C Van Zuijlen. Namun, mereka memotong 70 km trase di sekitar Taluk Kuantan. Dengan menggunakan tenaga kerja yang murah dari para romusha dan tahanan perang dan rel kereta api serta loko yang diambil dari Deli spoorweg maatschappij, Semarang–Cheribon Stoomtram Maatschappij, dan Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (Perusahaan kereta api Deli, perusahaan kereta api Semarang, dan perusahaan kereta api di Sumatera Barat ) jalur kereta yang menyambung pantai timur dan barat Sumatra bisa terwujud. Jalur kereta api Pakanbaroe – Muaro memiliki 14 camp dan di kota Pekanbaru ada dua camp P.O.W saat itu. Camp 1 dan Camp 2 yang sisanya hingga hari ini masih ada. Ada 120.000 romusha dan 5000 tahanan perang berkebangsaan Belanda, Inggris, Amerika, Selandia Baru, dan Australia yang menjadi korban dari pembuatan rel ini “The Sumatra Railroad, Final Destination Pakanbaroe 1943 – 1945, Henk Hovinga“.